• Jelajahi

    Copyright © Liputan Jateng
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Agresifitas Politik: Sebuah Refleksi atas Kekuasaan dan Kekerasan - Soleh Amini Yahman. Psikolog

    Last Updated 2025-01-30T06:13:38Z

     



    Drs. Soleh Amini Yahman. MSi. Psikolog

    Dosen Psikologi UMS


    Politik, bagi banyak orang, selalu dikaitkan dengan kekuasaan. Dalam praktiknya, politik memiliki dua sisi yang kontras: sisi positif yang membawa kemajuan serta sisi negatif yang sering kali berujung pada konflik dan kekerasan. David E. Apter menyatakan bahwa politik adalah cerminan dari tabiat manusia, baik yang luhur maupun yang gelap. Sementara itu, Peter H. Merkl dalam "Community and Change" menyebutkan bahwa politik dapat berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan, kejayaan, dan kekayaan demi kepentingan pribadi.

    Dalam dunia politik, upaya memperoleh, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan sering kali melibatkan berbagai taktik dan strategi. Sayangnya, tidak jarang metode yang digunakan bersifat agresif dan destruktif. Ketika kekerasan dianggap sebagai alat yang sah dalam politik, maka sejarah pun mencatat betapa berbagai bentuk penindasan, teror, dan bahkan perang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.

    Dari perspektif politik, kekerasan seolah menjadi bagian alami dari perkembangan masyarakat. Jika benar bahwa kekerasan adalah alat politik yang sah, maka pemikiran Machiavelli yang menyatakan "tujuan menghalalkan segala cara" menjadi relevan. Dengan demikian, perilaku agresif manusia tampaknya tidak akan pernah lenyap dari muka bumi ini. Bahkan, dalam berbagai peristiwa sejarah, agresi politik telah menjelma dalam berbagai bentuk, mulai dari pertikaian kecil hingga peperangan berskala besar.

    Bentuk-Bentuk Agresi Politik

    Sebagai makhluk sosial, manusia sering kali menunjukkan perilaku agresif terhadap sesamanya. Bentuk agresi ini beragam, mulai dari kekerasan fisik, agresi verbal, hingga strategi politik yang penuh intrik. Dalam konteks global, kita dapat melihat bagaimana konflik antarbangsa, perang saudara, dan pergolakan sosial menjadi bukti nyata dari agresifitas politik yang terus berkembang. Contohnya antara lain:

    • Kerusuhan antar kelompok di berbagai daerah di Indonesia, baik sebelum maupun setelah pemilu.
    • Perang antar etnis di bekas negara Yugoslavia.
    • Konflik Palestina-Israel yang tak kunjung usai.
    • Tragedi pembantaian tujuh jenderal pada 30 September 1965 di Indonesia.
    • Kerusuhan di Jakarta dan Solo pada Mei 1998.

    Peristiwa-peristiwa ini menegaskan bahwa kekerasan dalam politik bukan sekadar fenomena lokal, tetapi telah menjadi bagian dari dinamika global. Hal ini mengundang pertanyaan mendasar: mengapa manusia terus melakukan kekerasan? Apa yang mereka harapkan dari tindakan tersebut?

    Para ahli berdebat panjang mengenai hal ini. Sosiolog melihat kekerasan sebagai akibat dari tidak berfungsinya lembaga sosial dalam masyarakat. Sementara itu, Herbert L. Petri menjelaskan fenomena ini melalui teori motivasi: setiap tindakan manusia didorong oleh motif tertentu, bahkan jika motif tersebut tidak selalu disadari oleh pelakunya.

    Agresi yang Dilembagakan dalam Politik

    Salah satu bentuk agresi yang paling nyata dalam politik adalah perang. Sejarah mencatat bahwa manusia memiliki sikap ambivalen terhadap perang. Di satu sisi, mereka mengutuk perang dan merasa terancam olehnya, tetapi di sisi lain mereka terus membangun kekuatan militer dan mengembangkan teknologi senjata yang semakin canggih. Dengan demikian, agresi politik tidak hanya dilegitimasi, tetapi juga dilembagakan dalam bentuk industri persenjataan yang berkembang pesat.

    Politik praktis sering kali identik dengan perebutan kekuasaan dan otoritas. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam berbagai situasi, politik berubah menjadi alat agresi destruktif yang bertujuan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Sejarah mencatat bahwa perang sering kali berakar dari faktor politik, ideologi, atau perebutan wilayah teritorial. Misalnya:

    • Perang Palestina-Israel yang berakar dari sengketa wilayah.
    • Perang Vietnam yang dipicu oleh perbedaan ideologi antara komunis dan non-komunis.
    • Konflik di Chechnya, Afghanistan, dan Timur Tengah yang dipengaruhi oleh faktor agama dan politik.

    Dampak dari perang ini sangat luas. Selain korban jiwa yang mencapai jutaan, perang juga menyebabkan kehancuran fisik, sosial, dan psikologis. Kota-kota hancur, masyarakat tercerai-berai, dan trauma psikologis menjadi warisan yang sulit disembuhkan.

    Menghentikan Siklus Kekerasan Politik

    Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk membenarkan perang dan kekerasan dalam politik. Sejarah telah membuktikan bahwa perang hanya membawa kehancuran, bukan penyelesaian masalah yang nyata. Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk menemukan cara-cara alternatif dalam menyelesaikan konflik tanpa harus mengorbankan nyawa dan kehancuran.

    Stop dan hentikan perang sekarang juga! Kekerasan dalam politik bukanlah solusi, tetapi justru menjadi akar dari permasalahan yang lebih besar. Dunia membutuhkan pendekatan yang lebih manusiawi dalam menyelesaikan konflik, yaitu dengan dialog, diplomasi, dan kerja sama yang harmonis antarbangsa dan kelompok masyarakat. Dengan begitu, agresifitas politik yang selama ini mendominasi sejarah manusia dapat dikurangi, dan masa depan yang lebih damai dapat diwujudkan.

     

    Komentar
    Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
    • Agresifitas Politik: Sebuah Refleksi atas Kekuasaan dan Kekerasan - Soleh Amini Yahman. Psikolog

    Terkini