Drs. Soleh Amini Yahman. MSi. Psikolog
Dosen Psikologi UMS
Politik, bagi banyak orang, selalu dikaitkan
dengan kekuasaan. Dalam praktiknya, politik memiliki dua sisi yang kontras:
sisi positif yang membawa kemajuan serta sisi negatif yang sering kali berujung
pada konflik dan kekerasan. David E. Apter menyatakan bahwa politik adalah
cerminan dari tabiat manusia, baik yang luhur maupun yang gelap. Sementara itu,
Peter H. Merkl dalam "Community and Change" menyebutkan bahwa politik
dapat berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan, kejayaan, dan kekayaan demi
kepentingan pribadi.
Dalam dunia politik, upaya memperoleh,
mempertahankan, dan memperluas kekuasaan sering kali melibatkan berbagai taktik
dan strategi. Sayangnya, tidak jarang metode yang digunakan bersifat agresif
dan destruktif. Ketika kekerasan dianggap sebagai alat yang sah dalam politik,
maka sejarah pun mencatat betapa berbagai bentuk penindasan, teror, dan bahkan
perang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Dari perspektif politik, kekerasan seolah
menjadi bagian alami dari perkembangan masyarakat. Jika benar bahwa kekerasan
adalah alat politik yang sah, maka pemikiran Machiavelli yang menyatakan
"tujuan menghalalkan segala cara" menjadi relevan. Dengan demikian,
perilaku agresif manusia tampaknya tidak akan pernah lenyap dari muka bumi ini.
Bahkan, dalam berbagai peristiwa sejarah, agresi politik telah menjelma dalam
berbagai bentuk, mulai dari pertikaian kecil hingga peperangan berskala besar.
Bentuk-Bentuk Agresi Politik
Sebagai makhluk sosial, manusia sering kali
menunjukkan perilaku agresif terhadap sesamanya. Bentuk agresi ini beragam,
mulai dari kekerasan fisik, agresi verbal, hingga strategi politik yang penuh
intrik. Dalam konteks global, kita dapat melihat bagaimana konflik antarbangsa,
perang saudara, dan pergolakan sosial menjadi bukti nyata dari agresifitas
politik yang terus berkembang. Contohnya
antara lain:
- Kerusuhan
antar kelompok di berbagai daerah di Indonesia, baik sebelum maupun
setelah pemilu.
- Perang antar etnis di bekas negara Yugoslavia.
- Konflik Palestina-Israel yang tak kunjung usai.
- Tragedi
pembantaian tujuh jenderal pada 30 September 1965 di Indonesia.
- Kerusuhan di Jakarta dan Solo pada Mei 1998.
Peristiwa-peristiwa ini menegaskan bahwa
kekerasan dalam politik bukan sekadar fenomena lokal, tetapi telah menjadi
bagian dari dinamika global. Hal ini mengundang pertanyaan mendasar: mengapa
manusia terus melakukan kekerasan? Apa yang mereka harapkan dari tindakan
tersebut?
Para ahli berdebat panjang mengenai hal ini.
Sosiolog melihat kekerasan sebagai akibat dari tidak berfungsinya lembaga
sosial dalam masyarakat. Sementara itu, Herbert L. Petri menjelaskan fenomena
ini melalui teori motivasi: setiap tindakan manusia didorong oleh motif
tertentu, bahkan jika motif tersebut tidak selalu disadari oleh pelakunya.
Agresi yang Dilembagakan dalam Politik
Salah satu bentuk agresi yang paling nyata
dalam politik adalah perang. Sejarah mencatat bahwa manusia memiliki sikap
ambivalen terhadap perang. Di satu sisi, mereka mengutuk perang dan merasa
terancam olehnya, tetapi di sisi lain mereka terus membangun kekuatan militer
dan mengembangkan teknologi senjata yang semakin canggih. Dengan demikian,
agresi politik tidak hanya dilegitimasi, tetapi juga dilembagakan dalam bentuk
industri persenjataan yang berkembang pesat.
Politik praktis sering kali identik dengan
perebutan kekuasaan dan otoritas. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam
berbagai situasi, politik berubah menjadi alat agresi destruktif yang bertujuan
untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Sejarah mencatat bahwa perang
sering kali berakar dari faktor politik, ideologi, atau perebutan wilayah
teritorial. Misalnya:
- Perang Palestina-Israel yang berakar dari sengketa wilayah.
- Perang Vietnam yang dipicu oleh perbedaan ideologi antara komunis dan
non-komunis.
- Konflik di Chechnya, Afghanistan, dan Timur Tengah yang dipengaruhi
oleh faktor agama dan politik.
Dampak dari perang ini sangat luas. Selain
korban jiwa yang mencapai jutaan, perang juga menyebabkan kehancuran fisik,
sosial, dan psikologis. Kota-kota hancur, masyarakat tercerai-berai, dan trauma
psikologis menjadi warisan yang sulit disembuhkan.
Menghentikan Siklus Kekerasan Politik
Tidak ada alasan yang cukup kuat untuk
membenarkan perang dan kekerasan dalam politik. Sejarah telah membuktikan bahwa
perang hanya membawa kehancuran, bukan penyelesaian masalah yang nyata. Oleh
karena itu, penting bagi manusia untuk menemukan cara-cara alternatif dalam
menyelesaikan konflik tanpa harus mengorbankan nyawa dan kehancuran.
Stop dan hentikan perang sekarang juga!
Kekerasan dalam politik bukanlah solusi, tetapi justru menjadi akar dari
permasalahan yang lebih besar. Dunia membutuhkan pendekatan yang lebih
manusiawi dalam menyelesaikan konflik, yaitu dengan dialog, diplomasi, dan
kerja sama yang harmonis antarbangsa dan kelompok masyarakat. Dengan begitu,
agresifitas politik yang selama ini mendominasi sejarah manusia dapat
dikurangi, dan masa depan yang lebih damai dapat diwujudkan.